Reaksi

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
|| REAKSI || -- Tayang setiap hari MINGGU jam 20:30 -- Tayang ULANG setiap hari SELASA jam 22:00 -- || SOUNDXPLORE || -- Tayang setiap hari MINGGU jam 21:00-22:00 -- Tayang ulang setiap hari KAMIS jam 22:00 di Bandung TV, yessss..!!!!!

5 Des 2010

Unite For Humanity

Unite For Humanity

@ BTM, Sabtu 13 November 2010
Take By Reaksi Are-me Division

Read More..

Opening "The Illuminator Artwork Exhibition 2010"

(Reaksi File) Opening "The Illuminator Artwork Exhibition 2010"

 @ Galeri Padi, Jumat 19 November 2010
Take By Reaksi Are-me Division


Read More..

28 Okt 2010


"MARDUK" - Asian Black Death Redemption 2010




Time       : Sunday, December 12 · 2:30pm - 9:00pm

Location  : Bulungan, Jakarta

More Info : Pentia Quantum Presents 

MARDUK : "Asian Black Death Redemption 2010"

Ticket Price :
- Pre Sale : Rp 100.000 (1 November - 6 Desember 2010)
- Normal Price : Rp 150.000

Opening act :
Draconis Infernum, HellsGods, Madness Eternal, Trauma, Gelap

Ticket Box :

**********JAKARTA
Twins Music (Blok M) : 021 98355044
Solucites : 021 93386006
Rajakarcis : 021 8282137
Dapurletter.com : 085692336522
Her Shining Dark : 085716928151
Detik.com : 021 7944473
Aquarius Mahakam : 021-7208413
Alay : 021 91795666
Music Club ( PI ) : 021 75920443
Shownation : 021-7331748
Ananda Distro : 0857 1057 7892
Undying Music : 085782095227
PramborsStore : 081320631691-02126731200
Fauzan Pentia : 0817756201999 - 02197603312

**********BEKASI
Doni Rawalumbu : 021 91372538
Grindtech Store : 08159213046

**********TANGERANG
W.O.C : 021 91857850 | Begenk : 08567081321 | Bizare : 08979402988

**********BANDUNG
Riotic Distro : 022 70810550
Bandung TV : 08179200080
uncluster.com : 085624439805
Blackmass Emporium : 02276638837 - 0229284462

**********YOGYAKARTA
Sparagoza : 08562856003, 081328030098


Suporting by :
**********Solucites Metal Army

Pembelian Ticket di Solucites Contact :
Erma Sani, bisa dilakukan melalui Online

Mekanisme Pembelian :
1. Telp ke Solucites (No Telp tsb di atas) atau email ke erma@solucites.com untuk konfirmasi tiket PRE SALE masih available atau tidak

2. Ketika telah Confim, Transfer ke Rek

BCA KCP Mal Pondok Indah Jakarta Selatan
No. 7310062370
a/n ERMA NURUL SANI

3. Fax / scan bukti transfer disertai tulisan Nama,Alamat, Jumlah Ticket yg dipesan No KTP, No HP ke 021-72786437 atau email scan bukti transfer ke erma@solucites.com

4. Simpan bukti transfer asli untuk ditukarkan ke Ticket Box Solucites hari H di venue (mulai jam 14.00 WIB) sambil membawa Bukti Transfer asli untuk pencocokan data juga ID pengenal

Check This Link :
http://www.marduk.nu/tours.htm
Read More..

24 Okt 2010

Panceg Dina Galur Komunitas Metal Bandung...

Panceg Dina Galur Komunitas Metal Bandung... 
Written by New KAsep     

”…Panceg dina galur/babarengan ngajaga lembur. Moal ingkah najan awak lebur…” (Teguh dalam pendirian, bersama-sama menjaga kampung dan persaudaraan. Tidak akan bergeming walaupun badan hancur lebur). Petikan naskah kuno Amanat Galunggung yang dituliskan Rakeyan Darmasiksa (Raja Sunda Kuno yang hidup pada 1175-1297 Masehi) itu disadur menjadi lirik lagu berjudul ”Kujang Rompang” oleh Jasad, sebuah band beraliran death metal asal Bandung. Lagu ini ikut memeriahkan Deathfest IV, festival akbar death metal yang diadakan di Lapangan Yon Zipur, Ujungberung, Bandung, Sabtu (17/10). Ribuan anak muda, mulai dari pelajar SMP hingga mahasiswa, larut dalam hiruk-pikuk event musik metal yang disebut-sebut terbesar di Asia ini.
  
Filosofi panceg dina galur bukanlah sekadar inspirasi dalam berkarya musik bagi Jasad, melainkan juga menjadi pandangan hidup seluruh anggota dan penggemar musik metal di Bandung, khususnya yang bernaung di daerah Ujungberung.

”Mau seperti apa pun kita, macam mana bungkusnya, yang penting grass root (akar bawah) harus kuat. Harus sadar dan jangan lupakan budaya kita,” ujar Mohammad Rohman, vokalis Jasad.
Bagi masyarakat awam, bahkan dibandingkan komunitas band metal lainnya di Indonesia maupun dunia, keberadaan subkultur band death metal asal Ujungberung ini merupakan sebuah paradoks. Musik metal, tetapi lirik dan pesan nyunda adalah perpaduan yang sulit ditemukan di tempat lain.

Ketika di banyak tempat sub-subkultur atas nama aliran musik berhaluan Barat macam punk, grunge, maupun grindcore gencar melakukan perlawanan budaya lokal, entitas penggemar musik metal Ujungberung yang berada di wadah Ujungberung Rebels dan Bandung Death Metal Sindikat itu justru melakukan hal sebaliknya.

Sebagai contoh, konser Death Festival IV yang diikuti 12 band death metal itu mengangkat tema kampanye penggunaan aksara kuno. Di festival yang menjadi salah satu pembuka penyelenggaraan Helar Festival 2009 (festival industri kreatif di Bandung) itu, panitia membagi-bagikan leaflet mengenai cara menulis aksara sunda kuno kagana kepada penonton yang rata-rata masih berusia ABG.

”Di sekolah-sekolah, saya lihat, ini (kagana) tidaklah diajarkan. Daripada kelamaan menunggu pemerintah bertindak, kami duluan saja yang mulai bergerak,” ujar Rohman yang biasa disapa Man ”Jasad” ini di sela-sela konser.

Di luar panggung, Man dan kawan-kawannya kerap memakai iket kepala sebagai penanda identitas kultur Sunda. Meski, sehari-harinya mereka tidak lepas dari jaket kulit hitam maupun aksesori anting-anting dan tato.

Upaya mengenalkan tradisi Sunda tidak terhenti di sana saja. Di dalam berbagai kesempatan, anak-anak Bandung Death Metal Sindikat kerap menyisipkan pertunjukan karinding, celempung, dan debus.
”Kesenian karinding yang selama 400 tahun tenggelam coba kami hidupkan kembali,” tutur Dadang Hermawan, anggota Bandung Death Metal Syndicate. ”Di tiap Minggu dan Jumat melakukan tumpek kaliwon di Sumur Bandung dan Tangkuban Parahu untuk membicarakan kesenian Sunda,” tutur Man Jasad kemudian.

Terbanyak di dunia
Kelompok band metal yang ada di Ujungberung bahkan disebut-sebut yang terbanyak di dunia. Sejak awal 1990-an hingga kini, band-band metal tumbuh subur di Ujungberung. Saat ini terdapat sekitar 200 band metal hanya di wilayah pinggiran Kota Bandung ini.

”Padahal, Bandung hanya kota kecil jika dibandingkan dengan kota-kota di Jerman. Apalagi, di sini band-band ini kan harus dikondisikan bisa bertahan hidup di tengah banyak persoalan dan tekanan aparat,” tutur Philipp Heilmeyer, mahasiswa sosial-antropologi Goethe Universitat Frankfurt, terheran-heran.

Philipp sudah tiga bulan ini berada di Bandung untuk melakukan prapenelitian mengenai kehidupan kaum metal di Ujungberung ini. Hal lain yang menarik perhatiannya adalah mengapa komunitas metal di Ujungberung ini bisa bertahan justru dengan tetap berpijak pada nilai-nilai tradisi.

”Di Jerman, kaum metal biasanya lekat dengan kebiasaan mabuk-mabukan dan narkoba. Tetapi, mereka di sini malahan melakukan ini,” ucapnya sambil merujuk kegiatan sosialisasi aksara kagana yang dilakukan Bandung Death Metal Sindikat.

Yang disesalkan Aris Kadarisman (35), pentolan grup band Disinfected, masyarakat, khususnya kepolisian, melihat kaum metal justru dari sisi kelamnya.

Perang melawan stigma bahwa musik metal tidak identik dengan kekerasan, narkoba, dan semacamnya menjadi semakin sulit pascatragedi konser maut grup band Beside di Asia Africa Culture Center yang mengakibatkan tewasnya 11 penonton, Februari 2008. ”Padahal, ini terjadi lebih karena persoalan teknis, tidak cukupnya kapasitas tempat,” ucapnya.

Kemandirian ekonomi
Di tengah-tengah dorongan untuk mewujudkan mimpi memiliki gedung konser yang representatif, anak-anak metal ini seolah-olah terusir dari kota kelahirannya. Konser di gedung maupun tempat terbuka kini menjadi hal langka buat mereka. Deathfest IV pun bisa terwujud karena menggandeng kegiatan Helarfest 2009.

Kondisi ini pun disayangkan Ketua Bandung Creative City Forum Ridwan Kamil. Menurut dia, jika dilihat lebih jauh dari dalam, komunitas metal di Bandung menyimpan keunggulan yang luar biasa besar. Keunggulan itu terutama soal kemandirian ekonomi.

Dari musik yang diciptakan, didukung loyalitas para penggemarnya, secara tidak langsung itu menumbuhkan pula industri fesyen, rekaman, bahkan literasi.

Setidaknya, ada enam titik simpul industri fesyen yang dirintis sesepuh band metal di Ujungberung semacam Scumbagh Premium Throath yang didirikan almarhum Ivan Scumbag dari Burgerkill.
”Jika musisi lain itu filosofnya adalah musik untuk kerjaan, kami justru sebaliknya. Dari kerjaan, bisnis, ya untuk menghidupi musik,” tutur Dadang. ”Sebab, musik ini adalah the way of life kami. Tidak semuanya bisa dinilai dengan uang. Art is art, money is money,” ucap Man Jasad menimpali.

Tidak diragukan lagi, kekuatan ketabahan hati dan pikiran inilah yang membuat kelompok metal di Bandung ini tetap bertahan. Persis sesuai dengan paradigma mereka: panceg dina galur, moal ingkah najan awak lembur! (Yulvianus Harjono)






Read More..

PANCEG DINA JALUR

PANCEG DINA JALUR :  UJUNGBERUNG REBELS

Oleh Kimung

Ujungberung adalah sebuah kota kecamatan di bandung bagian paling timur. Daerah ini berada pada ketinggian 668 m di atas permukaan laut, berbatasan dengan Kecamatan Cibiru di timur, Kecamatan Arcamanik di barat, Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung di utara, dan Kecamatan Arcamanik di Selatan. Kecamatan Ujungberung mempunyai luas wilayah 1.035,411 Ha, dengan jumlah penduduk 67.144 jiwa. Sejak dulu, Ujungberung terkenal sangat kental dengan seni tradisionalnya, terutama seni bela diri benjang, pencak silat, angklung, bengberokan, dan kacapi suling.
Kultur kesenian rupanya tak lekang dari generasi muda Ujungberung walau Ujungberung kemudian dibom oleh kultur industri. Daya eksplorasi kesenian yang tinggi membuat tipikal seniman-seniman muda Ujungberung terbuka terhadap segala pengaruh kesenian. Salah satu yang kemudian berkembang pesat di Ujungberung selain seni tradisional adalah musik rock/metal.

Ujungberung 1990
Masih tak jelas kapan rock/metal masuk ke Ujungberung. Agaknya, sejak booming Guns n Roses, Metallica, dan Bon Jovi di Indonesia, Ujungberung tak ketinggalan tren ini. Walau dalam kondisi yang sangat terbatas beberapa gelintir kaum muda Ujungberung membentuk band dan memainkan lagu-lagu band rock favorit mereka. Di kalangan komunitas Ujungberung Rebels sekarang, Kang Koeple (kakak Yayat-produser Burgerkill) dan Kang Bey (kakak Dani-Jasad) bisa disebutkan sebagai generasi awal pemain band rock di Ujungberung. Pertengahan tahun 1980an hingga awal 1990an, mereka memainkan lagu-lagu rock semacam Deep Purple, Led Zeppelin, Queen, dan Iron Maiden selain juga menciptakan lagu sendiri.
Era ini kultur panggung yang berkembang Ujungberung, dan juga di Bandung, adalah kultur festival. Band tandang-tanding di sebuah festival musik dan band yang menang akan masuk dapur rekaman. Kita mungkin masih ingat Rudal Rock Band, salah satu band rock yang lahir dan sukses dari kultur ini. Saat itu saya masih kelas lima SD ketika tercengang-cengang melihat penampilan pemain bass-nya yang membetot dawai bass penuh energi. Mirip Cliff Burton. Sejak itu saya bercita-cita menjadi seorang pemain bass dan memainkan musik metal sekencang-kencangnya!
Agaknya ketercengangan yang sama menginspirasi generasi adik-adik Kang Koeple dan Kang Bey untuk mendirikan band. Tahun 1990 di Ujungberung, Yayat mendirikan Orthodox bersama Dani, Agus, dan Andris. Orthodox memainkan Sepultura album Morbid Vision dan Schizophrenia. Sementara itu di Ujungberung sebelah barat, Sukaasih, berdiri Funeral dan Necromancy. Funeral digawangi AamVenom, Uwo, Iput. Mereka memainkan lagu-lagu Sepultura, Napalm Death, Terrorizer. Sementara itu, Necromancy memainkan lagu-lagunya Carcass dan Megadeth. Band ini dua kali merombak personilnya berdasarkan musik yang mereka mainkan. Era crossover Necromancy terdiri dari Dinan (Vox), Oje (gtr), Aria (bass), Punky (dr). Era metal terdiri dari Dinan (vox), Oje (gtr), Andre (gtr), Boy (bass), Punky (Dr). Andre kini kital kenal sebagai gitaris Full of Hate.
Di Ujungberung sebelah timur, tepatnya di daerah Cilengkrang I, Tirtawening, berdiri Jasad yang digawangi Yulli, Tito, Hendrik, Ayi. Mereka membawakan lagu-lagu Metallica dan Sepultura. Pertama kali saya melihat Jasad ketika saya kelas 2 SMP ketika mereka manggung di sebuah festival rock di Alun-alun Ujungberung. Masih terkenang bagaimana Alun-alun dipenuhi pemuda gondrong berstelan hitam-hitam. Ingar bingar menghajar atmosfer sore itu. Jasad memainkan lagu Metallica saat itu dan untuk kedua kalinya saya tercengang melihat penampilan band rock. Sementara itu, di Cilengkrang II kawasan Manglayang, berdiri band Monster yang membawakan heavy metal ciptaan sendiri dengan motor gitaris Ikin, didukung Yadi, Abo, Yordan, Kenco, dan Kimung.
Yang unik, perkenalan para pionir ini berawal dari tren anak muda saat itu : main brik-brikan. Dinan (Necromancy) pertama kali kenal dengan Uwo-Agus (Funeral) dari jamming brik-brikan. Pun di kawasan Manglayang. Para personil Monster adalah para pecandu brik-brikan. Mereka berbincang mengenai musik, saling tukar informasi, dan akhirnya bertemu, membuat band, dan membangun komunitas. Selain brik-brikan, faktor kawan sesekolah juga menjadi stimulan terbentuknya sebuah band. SMP 1 Ujungberung—kini SMP 8 Bandung—menyumbangkan Toxic—Addy-Ferly-Cecep-Kudung—yang merupakan cikal bakal dari Forgotten. Band anak-anak SMP ini berdiri sekitar tahun 1991 atau 1992. Addy kita kenal sebagai vokalis Forgotten. Sementara Ferly adalah gitaris Jasad sekarang. Belum lagi band-band di SMA 1 Uungberung—kini SMA 24 Bandung—yang tak tercatatkan saking banyaknya.
Yang sangat mengagumkan di era ini adalah mereka telah memiliki radio komunitas yang dibuat dan diurus sendiri. Radionya bernama Salam Rama Dwihasta, di kawasan Sukaasih, berdiri tahun 1992 ketika metal semain menggila di Ujungberung. Radio ini radio biasa, tapi memilki program khusus lagu-lagu metal/death metal/grindcore. Nama programnya “Bedebah” dan mengudara setiap sore. Ketika permetalan didominasi heavy metal, “Bedebah”-nya Salam Rama Dwihasta sudah menggeber gelombang dengan Napalm Death, Carcass, Terrorrizer, Morbid Angel. Dua penyiarnya adalah Agung dan Dinan. Kabarnya, Dinan masih berseragam putih abu saat itu. Di balik usia belia mereka, saya merasakan semangat luar biasa dari para pionir ini dalam upaya menyebarkan musik metal di Ujungberung dan Bandung. Salut lur! Generasi ini juga tumbuh dalam kultur festival. Mungkin selain festival, panggung kecil agustusan dan event-event sekolah semacam kelulusan atau samen adalah ajang mereka berunjuk gigi.

Generasi Pendobrak : Homeless Crew dan Ujungberung Rebels
Kultur festival yang dirasa kurang bersahabat membuat gerah segelintir musisi muda. Dalam festival mereka harus memenuhui banyak syarat. Harus memainkan lagu band anu-lah, harus jadi gini lah, jadi gitu lah, pendeknya festival menuntut band untuk menampilkan wajah sama, bermanis muka agar menang di depan sponsor atau produser. Hal itu memangkas semangat ekspresi rock/metal juga semangat terdalam dan manusiawi dalam diri seorang seniman untuk berkarya. Dengan kesadaran baru itu gelintiran musisi muda Ujungberung maju dan merangsek jalanan.
Akhir tahun 1993, muncul kekuatan baru dari Ujungberung. Masa ini berdiri Studio Palapa, sebuah studio latihan musik milik Kang Memet yang dikelola Yayat dan Dani (Orthodox). Studio ini kemudian menjadi kawah candradimuka band-band Ujungberung hingga melahirkan band-band besar, kru-kru yang solid, dan musisi-musisi jempolan. Studio Palapa juga yang kemudian melahirkan rilisan-rilisan kaset pertama di Indonesia. Mereka merekam lagu-lagu dengan biaya sendiri, mendistribusikan sendiri, melakukan semua dengan spirit Do It Yourself. Dari sepuluh band independen di Indonesia yang tercatat Majalah Hai tahun 1995, tiga di antaranya berasal dari Ujungberung. Mereka adalah Sonic Torment, Jasad, dan Sacrilegious. Label dan perusahaan rekamanyang mereka kibarkan adalah Palapa Records.
Tahun 1995, di Ujungberung berdiri sebuah perkumpulan anak-anak metal bawahtanah yang menamakan diri sebagai Extreme Noise Grinding (ENG). Organisasi inilah cikal bakal segala dinamika Ujungberung Rebels, hingga hari ini. ENG digagas para pionir seperti Yayat dan Dinan sebagai wadah kreativitas anak-anak Ujungberung. Propaganda awal mereka adalah membuat sebuah media sharing antar dan inter komunitas musik metal bawahtanah berbentuk zine dengan nama Revograms. Zine ini disebut-sebut sebagai zine pertama di komunitas musik bawahtanah dan juga komunitas independen Indonesia. Revogram digagas Dinan dan dilaksanakan Tim Redaksi Revogram beranggotakan Ivan, Kimung, Yayat, Dandan, Sule, Gatot. Propaganda selanjutnya adalah membuat acara musik Bandung Berisik Demo Tour yang lalu dikenal sebagai Bandung Berisik I. Di acara ini lima belas band Ujungberung unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta. Hingga kini, Bandung Berisik tetap diusung masyaraat metal Ujungberung selain tiga pergelaran khas Ujungberung lainnya, Death Fest, Rottrevore Death Fest, dan Rebel Fest.
Setelah Bandung Berisik, propaganda dilanjutkan dengan merencanakan sebuah kompilasi band-band Ujungberung sebagai manifestasi atas eksistensi komunitas. Kompilasi tersebut memuat 16 band metal Ujungberung dan bertajuk Ujungberung Rebels. Kompilasi ini dirilis Musica dengan judul Independen Rebels dengan nilai transaksi 14 juta tahun 1998. Namun demikian, nama Ujungberung Rebels tak lantas pudar. Nama ini kemudian menjadi identitas komunitas musik metal bawahtanah Ujungberung, berdampingan dengan nama Homeless Crew yang merujuk pada gaya hidup musisi Ujungberung yang hidup di jalanan dan bohemian.
Keuntungan kompilasi Independen Rebels kemudian dijadikan modal mendirikan sebuah distro yang menampung hasil kreativitas anak-anak Ujungberung dan Indonesia pada umumnya, oleh Yayat selaku produser. Distro yang lalu berdiri bernama Rebellion, bertempat di jl. Rumah Sakit. Kabarnya, Rebellion adalah distro kedua di Indonesia setelah Reverse Outfit. Belakangan,Rebellion pindah, bersinergi dengan Pisces Studio. Pisces adalah studio milik Dandan ketika Kang Memet akhirnya memutuskan menjual alat-alat band Studio Palapa, Februari 1997.
Sementara dinamika rilisan kaset menggila, begitu juga dengan zine dan media. Zine kedua setelah Revogram adalah Ujungberung Update. Mereka yang berada di balik Ujungberung Update adalah Addy Gembel, Amenk, dan Sule. Merekalah yang kemudian membuat istilah tren saat itu : Gogon, singkatan dari Gosip-gosip Underground. Setelah Ujungberung Update, kemudian lahir Crypt from the Abyss yang diasuh oleh Opick Dead, gitaris Sacrilegious saat itu, Loud n’ Freaks yang diasuh oleh Toto, penabuh drum Burgerkill, dan The Evening Sun yang diasuh Dandan sang drummer Jasad. Belakangan, tahun 2000an, Toto bersinergi dengan Eben membuat zine NuNoise, salah satu zine progresif yang mengkover pergerakan musik termutakhir. Zine lainnya yang fenomenal dan terus bergerak hingga kini adalah Rottrevore yang diasuh oleh Rio serta Ferly, gitaris Jasad, merupakan media propaganda musik metal. Belakangan, Rottrevore berkembang menjadi perusahaan rekaman khusus musik metal. Rottrevore dimiliki grinder Jakarta, Rio, tapi dikelola oleh anak-anak Ujungberung Rebels.

Achievements & Events
Baby Riots adalah sebutan anak-anak Ujungberung Rebels bagi pasukan tempur bentukan Butchex, pentolan band The Cruels dan Mesin Tempur. Awalnya, karena perkembangan Ujungberung Rebels yang semakin pesat secara kualitas maupun kuantitas maka mulai terasa konflik dan gesekan dengan masyarakat sekitar. Ujungberung yang berkultur indsutri dan merupakan daerah peralihan yang gantel—kampung bukan, kotapun bukan—melahirkan banyak juga komunitas lain yang serba tanggung dan kemudian lazim kita namakan preman. Mereka kurang senang melihat anak-anak Ujungberung dengan segala totalitasnya, wara-wiri di jalanan mulai dari Pasar Ujungberung hingga jl. Rumah Sakit. Bentrokan dengan preman-preman pun mulai terjadi. Awalnya hanya hangat-hangat tahi ayam, namun ketika semakin kompleks dan merambah ke kekerasan dan perkelahian, maka Ujungberung Rebels merasa harus membuat pasukan sendiri yang di dalamnya terdiri dati mesin-mesin tempur berdaya ledak tinggi. Maka terbentuklah Baby Riots. Baby Riots tak lantas hanya berperan sebatas mesin tempur. Mereka juga ngeband dan banyak menghasilkan karya-karya. Band-band punk Ujungberung asuhan The Cruels adalah beberapa di antaranya selain juga metalhead-metalhead muda yang gejolaknya selalu membara. Musikalitas dan attitude mereka juga tak diragukan lagi.
Musikalitas pula, serta berbagai pencapaian mereka, yang semakin mengokohkan eksistensi anak-anak Ujungberung Rebels. Berbagai rekaman dirilis di komunitas ini dan mewarnai dinamika pergerakan msik metal bawahtanah di Indonesia. Beberapa band sempat dirilis di luar negeri seperti Jasad yang dirilis di Amerika dan Forgotten di Jerman dan Eropa Timur. Pencapaian fenomenal lainnya jelas diraih Burgerkill yang kemudian menjebol label besar, Sony Music Indonesia untuk kontrak enam album, sekaligus mendapatkan penghargaan prestisius di bidang musik dalam ajang Anugerah Musik Indonesia 2004 dengan menyabet kategori Best Metal Production untuk albumnya Berkarat. Belakangan, Burgerkill meninggalkan label besar mereka setelah merasa tak bisa lagi jalan bersama. Ini pula yang menjadi titik lahirnya label Revolt! Records yang menaungi album ketiga Burgerkill, Beyond Coma and Despair. Album ini sangat sukses dan fenomenal dalam pencapaian Burgerkill, dan jelas komunitas Ujungberung Rebels. Berbagai kritik positif dan penghargaan datang menyambut album ini. Terakhir, Beyond… dinobatkan majalah Rolling Stone sebagai salah satu dari 150 album sepanjang masa di Indonesia. Dan Burgerkill memang layak mendapatkan itu, setelah sebelumnya mereka membayar dengan harga yang sangat tak terhingga mahal : meninggalnya sang vokalis, Scumbag Begundal Hardcore Ugal-ugalan.
Kuatnya para musisi Ujungberung dalam memegang prinsip membuat komunitas ini tetap hidup dan dinamis hingga sekarang. Idealisme itu kemudian mereka manifestasikan dalam pergelaran-pergelaran musik yang mereka garap sendiri dan pada akhirnya membuaka ruang juga untuk musisi-musisi di luar Ujungberung untuk ikut berpartisipasi dalam dinamika Ujungberung Rebels. Tiga pergelaran musik yang khas Ujungberung Rebels selain event legendaries Bandung Berisik, adalah Rebel Fest, Rottrevore Death Fest dan Death Fest. Yang menarik, dari pergelaran ini adalah fakta bahwa pergelaran menjadi salah satu ajang regenerasi komunitas Ujungberung Rebels. Selain itu, anak-anak Ujungberung menajdikan pergelaran mereka sebagai ajang mempertunjukan kesenian tradisional sebagai pembuka atau penutup acara. Salah satunya adalah kesenian debus yang ditanggap anak-anak Ujungberung di ajang Death Fest II tahun 2007. Yang paling mengagumkan dari pergelaran yang digelar anak-anak Ujungberung adalah prestasi mereka mengumpulkan 25.000 penonton dalam acara Bandung Berisik IV di Stadion Persib, Bandung tahun 2004. Pencapaian ini diklaim memecahkan rekor pergelaran musik bawahtanah terbesar se-Asia oleh majalah Time Asia.

Ekonomi Kreatif Ujungberung Rebels
Dinamika pergerakan Ujungberung Rebels semakin menggurita saja dari hari ke hari. Kini setidaknya ada tiga lahan garapan ekonomi kreatif yang berkembang di komunitas Ujungberung Rebels, yaitu fesyen, rekaman, dan literasi. Yang paling subur adalah indsutri fesyen. Setidaknya ada enam industri fesyen yang digagas para pentolan Ujungberung Rebels, mulai dari Media Graphic dan distro Chronic Rock yang dijalankan Eben, Distribute yang dijalankan Pey, Reek yang dijalankan Ferly dan Man, Melted yang dijalankan Amenk dan Andris, CV Mus yang dijalankan Mbie, serta Scumbag Premium Throath yang ini diteruskan Erick sepeninggal Ivan.
Di bidang industri rekaman, Ujungberung memiliki dua perusahaan rekaman yang sangat dinamis, Rottrevore Records yang dijalankan Rio dan Ferly serta Revolt! Records yang dijalankan Eben. Rottrevore bahkan memiliki media literasi berupa majalah metal kencang bernama Rottrevore Magazine. Pentolan Ujungberung lainnya yang aktif di dunia literasi adalah Iit dengan toko buku Omuniuum-nya serta Kimung dengan zine MinorBacaanKecil dan penerbitan Minor Books yang menerbitkan biografi Ivan, Myself : Scumbag Beyond Life and Death, sebuah buku fenomenal, bagian dari trilogi sejarah Ujungberung Rebels dan Bandung Underground.
Tentu selain tiga lahan garapan tersebut masih banyak yang lainnya seperti bisnis warnet yang dikelola Kudung atau toko musik atau sentra kuliner. Semua lahan garapan pentolan-pentolan anak-anak Ujungberung Rebels tersebut jelas membuka lebar perbaikan perekonomian minimal di kalangan internal Ujungberung Rebels sendiri, maksimal ya…mungkin membayarkan hutang Indonesia raya yang bejibun itu.
Segala pencapaian itu tak datang dengan sendirinya. Segala datang bersama daya konsistensi yang sangat tinggi dan idealisme yang teguh digenggam satu tangan, sementara tangan yang lain menghajar jalanan dengan senjata kreativitas. Tapi kunci dari segalanya adalah keteguhan prinsip. Panceg dina jalur, tidak gamang menghadapi perubahan. Membaca segala perubahan sebagai kulit saja bukan sebuah inti, sehingga ketika harus menyesuaikan diri dengan perubahan tak lantas kehilangan diri tenggelam dalam euforia di permukaan.
Segala pencapaian itu juga harus dikelola dengan sinergi yang positif di antara lahan-lahan garapan kreativitas sehingga akan terus berkembang dan pada gilirannya menyumbangkan hal positif bagi masyarakat kebanyakan. Sebuah sentra bisnis dan pusat pengembangan budaya di Ujungberung pasti akan menjadi wadah yang menampung segala aspirasi dan hasil kreativitas mereka menuju totalitas yang paling maksimal. Mininal gedung konser yang di dalamnya terdapat juga youth center, dan pusat dokumentasi dan pengembangan riset sosial budaya yang memadai. Berangan-angan? Tidak juga! Panceg dina jalur!


Penulis adalah editor Minor Bacaan Keci

Read More..

21 Okt 2010

Exodus - War Is My Shepherd (Reaksi File)

Exodus live in Jakarta
(Wednesday, Sept 29 2010)
Pentia Quantum event,
take by Reaksi Are-me Division
Read More..